Tags

, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Resep Cespleng Menulis Buku Bestseller

Sahabat saya Alexandra Dewi, penulis buku-buku gaya hidup, semula tidak percaya kalau tulisannya diminati penerbit. Namun, kekuatan tema dan gaya tutur tulisan selalu menjadi daya tarik tersendiri bagi penerbit. Kini naskahnya selalu ditunggu-tunggu penerbit.

“Jangan sekali-kali menyerah, jangan sekali-kali menyerah, jangan, jangan, jangan, jangan dalam hal apa pun besar maupun kecil, penting atau sepele–jangan sekali-kali menyerah.”

Winston Churchill

(Negarawan Inggris)

Sekarang setelah naskah buku kita rampung, pekerjaan berikutnya adalah menerbitkan naskah tersebut. Bab ini hanya menyajikan sekilas mengenai proses penerbitan dan kriteria-kriteria apa saja yang biasa dipakai penerbit untuk menerima atau menolak sebuah naskah buku. Hal yang sifatnya sangat teknis tidak dibahas di sini karena informasi tersebut bisa diakses di website masing-masing penerbit.

Ada dua cara menerbitkan buku. Pertama kita mengajukan naskah buku kita ke penerbit tertentu untuk diterbitkan. Atau  kedua, kita menerbitkan sendiri naskah kita (self publishing). Mari kita mulai pembahasan dengan pilihan pertama.

Mengajukan penerbitan buku ke penerbit dapat ditempuh dalam dua cara. Pertama, naskah diterbitkan oleh penerbit di mana seluruh biaya percetakan, distribusi, sampai promosi ditangani penerbit. Kedua, penerbitan bersama, misalnya dalam bentuk patungan biaya cetak, sementara urusan distribusi dan promosi ditangani penerbit. Untuk melakukan kedua pilihan ini, kita tinggal menghubungi kantor penerbit yang kita pilih, kemudian kita bisa mengadakan janji pertemuan untuk membahas teknis rencana penerbitannya.

Kabar gembira bagi para penulis, saat ini dunia penerbitan di Indonesia sudah sedemikian pesat perkembangannya. Setiap tahun banyak penerbit baru bermunculan, sementara penerbit-penerbit mapan juga semakin eksis. Yang cukup fenomenal adalah pertumbuhan penerbit-penerbit independen di Yogyakarta yang jumlahnya mencapai ratusan. Semua penerbit itu terus-menerus mencari naskah-naskah baru, karena hanya dengan naskah baru penerbit dapat mempertahankan bisnisnya. Dan ini memberikan pilihan yang luas bagi penulis.

Namun masing-masing penerbit memiliki kriteria-kriteria berbeda menyangkut naskah yang hendak diterbitkan. Kriteria Gramedia Pustaka Utama (GPU) misalnya, berbeda dengan kriteria kelompok penerbit Mizan, Kharizma, Gema Insani Press, atau Buana Ilmu Populer (BIP). Kriteria penerbit-penerbit besar umumnya juga berbeda sekali dengan penerbit-penerbit kecil atau penerbit yang baru berkiprah di industri perbukuan. Sebelum mengirimkan naskah, ada baiknya kita sedikit mengenali tipe buku-buku dari katalog (sudah banyak yang tersedia secara online) yang diterbitkan oleh penerbit yang dituju.

Sejumlah penerbit besar yang saya sebut di atas memiliki kriteria penilaian berbeda dalam penerimaan naskah. Namun berdasarkan pengamatan saya, ada kriteria-kriteria dasar yang dikehendaki oleh semua penerbit. Di antaranya adalah:

  1. Dari sisi pemasaran, naskah mempunyai segmen pembaca yang jelas dan luas.
  2. Naskah buku berpotensi laku keras di pasaran.
  3. Buku berisi hal-hal baru yang menarik perhatian publik.
  4. Memiliki keunikan dan kelebihan dibanding buku sejenis yang sudah terbit.
  5. Kualitas penulisan dan bahasanya bagus, sistematis, aktual, disertai data-data yang lengkap (foto, ilustrasi, tabel, diagram, dll).
  6. Naskah memiliki segi kemanfaatan yang tinggi bagi pembaca.
  7. Memiliki judul yang menarik, memancing, dan sugestif.
  8. Dari sisi produksi, naskah mudah diproduksi dan tidak memberatkan penerbit dari sisi biaya cetak.

Selain itu, biasanya pengajuan naskah perlu dilengkapi surat pengantar, biodata lengkap penulis, serta informasi-informasi tambahan mengenai naskah buku kita. Bisa pula kita tambahkan informasi yang menunjukkan atau menerangkan tentang keunikan, aktualitas, peluang pasar, segmentasi, dan strategi promosi yang kita usulkan untuk membuat buku tersebut cepat diserap oleh pasar.

Pikiran-pikiran tambahan dari penulis dibutuhkan oleh penerbit. Penerbit Mizan misalnya, meminta penulisnya menyertakan usulan-usulan atau ide-ide publisitas dan promosi. Sementara Gramedia Pustaka Utama akan senang sekali dan berharap penulisnya bersedia ikut aktif menjadi pemasar atau membantu upaya promosi. Naskah kita juga memiliki keunggulan di mata penerbit, misalnya, jika sudah dipesan dalam jumlah besar atau mendapat endorsement dari lembaga terkenal, para pakar, pengamat, tokoh terkenal, atau penulis lain yang relevan.

Proyeksi laku tidaknya buku kita di pasaran nanti biasanya menjadi pertimbangan utama penerbit-penerbit mapan. Memang, mereka bisa berkompromi dengan naskah yang potensi pasarnya tidak terlalu menjanjikan, namun dari segi kualitas isi diakui sangat berbobot dan dibutuhkan oleh kelompok masyarakat tertentu. Namun, anggaran penerbit sangat terbatas untuk melayani buku-buku ‘idealis’ semacam ini.

Pilihan lain, kita bisa bekerjasama menerbitkan buku dengan penerbit mapan. Katakanlah kita memiliki rekan-rekan seprofesi atau komunitas yang dipastikan mampu menyerap 30-40 persen dari total buku yang dicetak. Dalam kasus seperti ini, biasanya penerbit akan tertarik bekerjasama dengan kita. Kadang penerbit juga bersedia meminjamkan namanya untuk buku yang kita cetak dengan biaya sendiri. Sebagai imbalan, kita memberikan buku (dalam jumlah yang disepakati) yang kita cetak itu kepada penerbit bersangkutan untuk mereka edarkan di pasaran. Penerbit cukup diuntungkan dengan bentuk kerjasama seperti ini.

Hal yang perlu dicatat, penerbitan buku melalui penerbit-penerbit besar dan mapan biasanya cukup makan waktu. Tak jarang penulis buku harus menunggu  setengah hingga setahun lebih baru kemudian bukunya diterbitkan. Masuk waiting list ini tidak hanya terjadi pada penulis-penulis baru, tetapi juga pada penulis yang sudah punya nama sekalipun. Alasannya, jumlah buku yang dicetak oleh penerbit-penerbit besar itu memang sangat banyak. Selain itu, prioritas mereka biasanya pada tema-tema buku yang sedang ngetren, yang dipastikan bakal laku keras di pasaran. Sementara topik-topik alternatif, yang masih belum jelas potensi pasarnya, atau jika penulisnya relatif belum punya nama, prioritasnya agak di belakang.

Nah, celah inilah yang belakangan dimanfaatkan betul oleh penerbit-penerbit kecil yang jauh lebih agresif dan cepat dalam menerbitkan buku. Mereka tidak pandang bulu apakah itu pengarang baru atau yang sudah punya nama. Asal tema bukunya menarik, mereka cukup berani berspekulasi menerbitkannya. Mereka sangat aktif mencari naskah-naskah baru dari penulis-penulis potensial yang sering lolos dari bidikan penerbit-penerbit mapan. Dan belakangan semakin banyak saja penulis sukses yang diorbitkan oleh penerbit-penerbit kecil. Contoh menarik untuk kasus ini adalah sukses spektakuler penerbit Galang Press (Yogyakarta) saat menerbitkan buku Jakarta Undercover, yang sebelumnya ditolak oleh penerbit-penerbit besar di Jakarta.

Saat ini tak jarang penulis-penulis ternama juga memanfaatkan penerbit-penerbit kecil sebagai alternatif. Kecepatan dalam proses penerbitan menjadi salah satu pertimbangan utama. Apalagi, konsumen buku kita saat ini cukup menghargai kehadiran penerbit-penerbit kecil yang mampu menawarkan tema-tema atau judul-judul alternatif. Jika kita memilih penerbit kecil, maka kita harus melihat pada kekuatan dan kemampuan mereka dalam mendistribusikan buku, kemampuan menghasilkan cetak buku berkualitas, dan sistem pembayaran royaltinya harus lebih menarik dan fair. Sebagian penerbit kecil berani memberikan royalti di atas 10 persen (angka mati penerbit-penerbit besar di Jakarta), yaitu antara 11-15 persen serta memberikan down payment royalti sekitar 25 persen dari total buku yang dicetak.

Kalau tidak mau dipusingkan oleh syarat-syarat penerbit, pilihan lain adalah menerbitkan dan memasarkan sendiri buku kita. Yang mesti kita lakukan adalah mencari percetakan yang bisa mencetak buku sesuai keinginan kita. Biasanya, percetakan menyediakan tenaga yang mengurusi lay out, setting, pembuatan film, dan grafis, sehingga kita tidak perlu pusing memikirkan proses percetakannya. Dunia penerbitan buku sudah berkembang pesat, sehingga mencari percetakan buku di kota besar bukan hal yang sulit. Bahkan percetakan-percetakan buku sekarang banyak tersebar sampai ke kota-kota kecil.

Jika yakin naskah kita memiliki potensi pasar yang sangat bagus, punya saluran-saluran pemasaran tersendiri, punya komunitas sebagai target market, dan memiliki dukungan finansial untuk mencetak maupun mempromosikan sendiri bukunya, kita tak perlu ragu untuk menerbitkan buku sendiri. Praktisi atau konsultan publishing bisa dikontak untuk memberikan analisis, saran, dan bantuan. Konsultan publishing bahkan bisa menangani buku mulai dari proses editing hingga ke distribusi. Langkah ini jelas akan mempermudah dan menghemat energi kita.

Menerbitkan buku sendiri (self publishing) termasuk juga memasarkannya, kini menjadi salah satu alternatif dan banyak dipilih oleh penulis-penulis yang punya personal brand bagus. Dewi Lestari atau Dee punya kisah sukses saat menerbitkan dan memasarkan sendiri novel Supernova. Cetakan pertama 5.000 eksemplar ludes di pasaran, dan kemudian dicetak ulang hingga mencapai angka 32.000 eksemplar. Andrias Harefa dengan bukunya berjudul Pesona Bisnis Direct Selling & MLM  juga menangguk untung besar dengan mencetak dan memasarkannya sendiri ke beberapa perusahaan DS/MLM besar di Indonesia. Sementara Abu Al-Ghifari, penulis buku-buku islami juga cukup sukses dengan Mujahid Press, sebuah independent publishing yang didirikannya di Bandung. Dalam dua tahun usianya, penerbit itu berhasil menerbitkan tak kurang dari 108 judul buku dan Abu sendiri telah menghasilkan 50-an judul buku.

Sukses penerbitan sendiri juga dialami oleh novel Eiffel I’m in Love karya Rachmania Arunita atau buku-buku Aa Gym yang diterbitkan kelompok usahanya sendiri (MQ Publishing). Hermawan Kartajaya dengan MarkPlus-nya pun telah membuat divisi publishing untuk menerbitkan buku-buku marketing. Sementara buku ESQ dan ESQ Power yang ditulis dan diterbitkan sendiri oleh Ary Ginanjar juga suskes besar di pasaran. Hingga Mei 2005 lalu, ESQ yang pertama kali dicetak tahun 2001 dikabarkan telah terjual hingga 250.000 eksemplar. Ini membuktikan bahwa bisnis perbukuan masih sangat menawan untuk diterjuni.

Dalam perkiraan saya, membuat self publishing atau mendirikan independent publishing akan menjadi tren ke depan. Akan semakin banyak kaum profesional seperti trainer, business coach, public speaker, pendakwah, penghobi, lembaga pelatihan, intitusi bisnis, institusi akademik, keagamaan, dll, yang lebih memilih menerbitkan sendiri buku-bukunya. Alasannya, menulis dan menerbitkan buku sudah sedemikian mudahnya. Peluang bisnis di dunia penerbitan juga sangat menarik untuk ditekuni. Sementara, sudah banyak pula penulis atau konsultan publishing yang siap membantu pribadi dan lembaga mewujudkan keinginan tersebut.

Jadi, sekarang ini kita punya banyak pilihan jika ingin menerbitkan naskah buku. Bisa memilih penerbit besar, penerbit kecil, atau malah menerbitkan sendiri. Sekali lagi, industri perbukuan nasional sedang berkembang pesat. Ratusan penerbit menanti naskah-naskah baru untuk diterbitkan. Ini peluang yang luar biasa bagi para penulis. Nah, selamat memanfaatkan peluang ini dan semoga anda berhasil membuat buku best seller.[Edy Zaqeus: https://rcmbb.wordpress.com/%5D

Tips:

  1. Jika anda menginginkan brand bagus, pastikan penerbit besar dan berpengalaman yang menerbitkan buku anda.
  2. Jika brand bukan pertimbangan utama, tetapi kecepatan lebih penting, anda dapat memilih penerbit kecil.
  3. Jangan putus asa jika naskah ditolak penerbit. Perbaiki dan tawarkan ke penerbit-penerbit lain.
  4. Jika anda mempunyai komunitas atau target pembaca yang pasti, menerbitkan buku sendiri akan lebih menguntungkan.
  5. Jika memilih self publishing, ada baiknya anda memanfaatkan konsultan publishing untuk mempermudah dan mempercepat proses percetakan maupun pendistribusian.