Tags
"Bagaimana Menembus Penerbit", "Bagaimana Menulis Buku", "Bestseller Indonesia", "Buku Bestseller", "Buku Kumpulan Tulisan", "Buku Tanya Jawab", "Cara Memilih Tema Buku", "Cara Menulis Buku", "Cara Menulis Cepat", "Edy Zaqeus", "Fast book", "Ide-ide Bestseller", "Mencari Ide Buku", "RCMBB", "Resep Cespleng Menulis Buku", "Suara Bestseller", "Teknik Wawancara untuk Buku"
“Mendengarkan dengan baik dan menjawab dengan baik adalah salah satu penyempurnaan terbesar yang dapat diperoleh dalam percakapan.”
Francois, Duc de La Rochefoucauldd
(Pengarang Perancis)
Dalam menunaikan tugas-tugas jurnalistik, saya sering mewawancarai para CEO, entrepreneur, pengusaha mandiri, penjual sukses, manajer berprestasi, termasuk para motivator, trainer dan akademisi. Ketika mewawancarai, saya sering menemui nara sumber yang ekselen penguasaan materinya, gagasan-gagasannya brilian, dan visi-visinya pun sangat bagus. Melihat kemampuan tersebut, saya sering meminta mereka untuk menulis kolom atau artikel opini mengenai topik-topik yang sangat mereka kuasai itu di media saya.
Sayangnya, kebanyakan dari mereka memang bukan penulis. Walaupun ingin sekali menulis, mereka merasa tidak mampu menuangkan gagasan ke dalam tulisan, apa pun bentuknya. Beberapa mengaku pernah mencoba tapi hanya sampai pada pointers, outline, atau judul tulisan. Setelah mencoba beberapa paragraf, mereka kesulitan mengembangkan dan menyelesaikan tulisan tersebut. Umumnya alasannya adalah; pikiran tiba-tiba mentok dan ide-ide yang semula mengalir tiba-tiba macet. Alhasil, antusiasme menulis pun turun drastis. Mereka menyerah.
Lain suasana saat mencoba menulis, lain pula suasana saat wawancara. Uniknya, para narasumber saya ini sangat menikmati diskusi yang terbangun saat saya mewawancarai mereka. Gampang ditebak, muncul banyak sekali gagasan-gagasan menarik yang kadang mereka sendiri tidak tahu dari mana asalnya.
“Saya senang sekali dengan wawancara seperti ini. Ide saya bisa keluar semua,” tutur Purdi E. Chandra saat saya wawancarai. Bos grup Primagama ini mengakui bahwa sebuah wawancara bisa menstimulasi pemikirannya untuk memberikan jawaban-jawaban yang cerdas. Hasil wawancara saya dengan Purdie dan tokoh-tokoh pengusaha suskes lainnya telah dibukukan dengan judul Kalau Mau Kaya Ngapain Sekolah! (2004), yang mengalami 6 kali cetak ulang dalam 4 bulan pertama peredarannya, dan Februari 2005 lalu telah cetak ulang ke-8!
Untuk orang-orang tertentu, pemikiran-pemikiran yang bagus itu letaknya jauh di sudut ingatan mereka. Sesungguhnya, secara tidak sadar inti-inti pemikiran tersebut muncul sepotong-sepotong dalam setiap kesempatan, seperti saat berdiskusi, presentasi, menanggapi suatu permasalahan, atau saat berproses untuk mengambil keputusan. Hanya saja, mungkin pemikiran-pemikiran ini jarang atau tidak pernah dikemas atau diorganisasikan menjadi sebuah presentasi yang terstruktur. Oleh sebab itu, pemunculannya membutuhkan stimulasi tertentu seperti dalam wawancara atau diskusi.
Rangsangan dalam bentuk pertanyaan memang besar daya pancingnya bagi gagasan-gagasan bagus yang selama ini terpendam. Contoh; rangsangan berbentuk pertanyaan atau bantahan atas gagasan-gagasan kita. Konsep-konsep psikologi membenarkan adanya mekanisme pertahanan diri. Jika pendapat atau keyakinan kita dibantah dan diserang orang lain, spontan kita akan berusaha keras untuk membela diri. Secara positif, bantahan atau pertanyaan akan menggerakkan kita untuk selalu memberikan dasar-dasar argumentasi, membeberkan bukti-bukti, dan menegaskan kembali posisi kita. Provokasi pertanyaan akan menantang kita untuk mengeluarkan segenap kemampuan intelektual.
Nah, begitulah cara harta karun pemikiran kita bisa digali. Dan hasilnya sangat dibutuhkan dalam penulisan buku. Jadi, kita bisa minta seseorang yang ahli untuk mewawancarai dan rekam wawancara tersebut. Outline atau pointers yang sudah kita siapkan bisa menjadi bahan untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan saat wawancara berlangsung.
Jurus ini sangat sederhana dan sangat mudah dilakukan. Kita bisa meminta si pewawancara untuk menggali sedalam-dalamnya, menantang setiap proposisi yang kita ajukan, dan menuntut pengajuan bukti-bukti atau argumentasi penguatnya. Kita tidak boleh puas hanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya basa-basi. Kita bisa minta si pewawancara untuk mendebat keyakinan kita. Kita sendiri harus berusaha membela pikiran dan keyakinan kita berdasarkan data-data, informasi, pengalaman, serta keahlian yang kita miliki. Kita tidak boleh takut atau ragu untuk mempertahankan dasar-dasar posisi kita.
Seorang pewawancara yang ahli akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam alur yang bisa membangun kerangka pemikiran kita. Dia juga bisa menggabungkan relevansi pertanyaan satu dengan yang lainnya. Dia bisa mengingatkan, apakah dasar-dasar argumentasi kita sudah cukup kuat tanpa perlu mempermalukan diri kita. Dia juga bisa memilih apakah perlu mendebat argumentasi kita atau hanya menggali pengalaman-pengalaman saja. Sebab, jenis bahan yang digali harus sesuai dengan tema yang akan digarap. Jika kita hanya ingin mengisahkan pengalaman mengesankan, tentunya kita tidak perlu didebat seperti jika hendak menyusun buku politik misalnya. Para penulis profesional atau wartawan yang terlatih akan sangat bagus dalam menjalankan teknik mengeksplorasi gagasan seperti ini.
Teknik wawancara ini akan sangat meringankan tugas kita dalam mengumpulkan bahan-bahan tulisan. Saya pun merasakan manfaat teknik ini saat membantu sejumlah coach, trainer, eksekutif, dan klien-klien lain dalam menulis kolom untuk media massa atau membantu mereka menulis buku-buku populer. Dengan teknik wawancara, ide-ide mentah mereka bisa tereksplorasi, definisi-definisi bisa dirumuskan, bahkan ide-ide baru yang sifatnya kelanjutan dari ide semula bisa mengalir begitu derasnya.
Kelebihan teknik ini, pewawancara bisa secara tidak langsung mengingatkan kita atas hal-hal yang perlu diperbaiki. Misalnya, alur berpikir atau cukup tidaknya data untuk mendukung sebuah proposisi. Dalam perspektif yang lain, pewawancara juga bisa menggali detail pengalaman-pengalaman yang mungkin kita lewatkan, yang sebenarnya bisa dipakai untuk memperkaya tulisan kita. Terutama untuk penulisan non fiksi, teknik ini dapat dimanfaatkan untuk mempertajam gagasan dasar buku kita.
Jika menggunakan jasa pewawancara profesional bukan merupakan pilihan, kita tetap bisa memanfaatkan rekan kita sebagai penguji ide-ide kita. Cara dan persiapannya hampir sama, kecuali kita perlu menekankan di awal wawancara, hal apa saja yang perlu digali oleh si teman yang kita mintai bantuan tadi. Kita juga bisa membuat teknik ini menjadi bersifat informal, yaitu menjadi semacam diskusi terbuka atas gagasan kita. Ini berarti kita meminta bantuan beberapa rekan yang memiliki minat serupa untuk mengeksplorasi dan menguji gagasan kita. Kadang, asal kita bisa mengarahkan secara teknis, maka seorang sekretaris pribadi yang cerdas pun bisa menjalankan tugas ini.
Namun, kalau kita menganggap melibatkan orang lain terlalu provokatif sifatnya, atau tidak praktis karena kita harus membuat jadwal pertemuan tersendiri dengan mereka, kita pun bisa ‘mewawancarai’ diri sendiri. Hanya berbekal daftar pertanyaan yang terstruktur dan sebuah alat perekam, dengan mudah kita bisa menggali gagasan sendiri di mana saja. Kita bisa gunakan alat perekam yang kecil, karena lebih praktis. Di sini kita memainkan peran sebagai seorang wartawan kritis sekaligus si narasumber. Jadi kita bertanya pada diri sendiri dan menjawab sendiri setiap pertanyaan yang kita ajukan.
Teknik ini fleksibel dan bisa dibalik. Kita bisa mengembangkan gagasan sendiri dengan cara mewawancarai orang lain yang berminat atau yang sesuai dengan bidang garapan kita. Nah, cara ini memungkinkan kita mendapatkan perspektif yang lebih segar. Dengan sedikit kecerdikan, kita bisa meminta saran-saran, memancing ide-ide orang lain untuk kemudian diramu dengan ide kita sendiri. Seorang sahabat baik pun kadang bahkan bisa memberi kita judul bab atau judul buku seperti yang kita harapkan. Teknik ini sama seperti saat kita meminta feedback atau komentar orang lain atas gagasan kita.
Hal yang perlu kita perhatikan adalah menjaga supaya kualitas rekaman jernih. Setiap kalimat atau kata harus terekam dengan baik sehingga tidak sulit ditranskrip nantinya. Begitu selesai satu episode wawancara, sebaiknya hasil wawancara segera ditranskrip dan dicetak supaya kita bisa segera mengevaluasinya. Dari hasil transkrip itulah kita bisa langsung meneliti ulang bagaimana alur berpikir, deskripsi, kronologi, struktur bahasa, dan pola argumentasi yang kita bangun. Hasil transkrip dari sebuah wawancara yang bagus bisa menjadi bahan mentah yang bagus pula. Bahkan hasil wawancara plus editing yang bagus pun sudah bisa disusun menjadi buku tanya jawab best seller. Saya telah membuktikannya.[Edy Zaqeus: https://rcmbb.wordpress.com/%5D
Tips:
- Gunakan tenaga profesional untuk menggali dan mempertajam gagasan-gagasan anda.
- Persiapkan outline atau daftar pertanyaan yang lengkap sebelum wawancara.
- Pilih waktu yang benar-benar nyaman agar wawancara berlangsung efisien dan efektif.
- Membiasakan diri mendiskusikan gagasan akan sangat bermanfaat.
- Jadikan para pengkritik atau pembantah gagasan sebagai mitra untuk menguji dan mempertajam gagasan anda sendiri.